CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, 22 Februari 2009


Jepang dan Cina merupakan dua negara asia yang selalu disebut-sebut sebagai “Naga Asia”. Bagaimana tidak, setelah hancur dijatuhi bom atom oleh sekutu dalam perang dunia II, Jepang tampil dengan kekuatan yang luar biasa melalui perekomiannya. Begitu juga dengan Cina, melalui perekonomiannya negara yang baru saja merayakan 100 tahun paham komunisnya telah mampu melahirkan peradaban baru, yakni peradaban Cina. Bahkan, seringkali disebut bahwa peradaban Cina akan mampu menggeser peradaban yang sedang mendominasi dunia sekarang, yaitu peradaban AS yang berpaham liberal kapitalis.
Dunia berdecak kagum melihat kesuskesan kedua negara tersebut. Akan tetapi, kesuksesan tidak muncul tiba-tiba dan diperoleh dalam sekejap. Dibalik kesukesan setiap individu, organisasi maupun sebuah negara terdapat filosofi hidup yang dipegang erat-erat dalam meraihnya.
Segala kesenangan, kemewahan, dan kekayaan kedua negara tersebut diperoleh dengan usaha yang tidak kenal lelah, disiplin ketat dan kerja keras yang diwarisi secara turun menurun.
Bagi bangsa Jepang sendiri, melalukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh merupakan harga diri dan kehormatan bangsa yang harus dijaga. Hal itu menunjukkan semangat “BUSHIDO” orang Jepang yang diwarisi secara turun menurun dari kaum samurai di masa Jepang kuno. Sedangkan Cina, dalam kehidupan sehari-hari selalu memegang teguh dan menerapkan filosofi Yin Yang (keharmonisan) yang menekankan kebajikan, wisdom, harmoni dan hubungan antar sesama. Kedua filosofi itulah yang masing-masing selalu dipegang teguh dan membawa kesuksesan bagi kedua negara “Naga Asia” tersebut.
Bangsa Jepang lebih memilih mati dan bunuh diri daripada menanggung malu akibat kekalahan dan kegagalan. Zaman dahulu pahlawan Jepang yang dikenal dengan sebutan samurai akan melakukan harakiri atau bunuh diri dengan memasukkan pedang ke bagian perut jika kalah dalam pertarungan. Hal itu justru memperlihatkan usaha mereka menebus kembali harga diri yang hilang akibat kalah dalam pertarungan. Semangat samurai masih kuat tertanam dalam sanubari bangsa Jepang. Namun, saat ini harakiri tidak lagi dilakukan. Semangat dan disiplin samurai tersebut sekarang digunakan bangsa Jepang untuk membangun kembali ekonomi yang runtuh setelah pusat kota Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh sekutu dalam perang dunia II.
Biasanya, seseorang lebih suka memperkenalkan diri berdasarkan identitas negara atau keturunannya. Berbeda dengan bangsa Jepang yang lebih bangga memperkenalkan diri sebagai anggota organisasi atau perkumpulan tertentu. Mereka bangga dapat mencurahkan kesetiaannya dan menjadi hamba pada organisasi besar dan berpengaruh. Oleh karena itu, mereka selalu melakukan dan memberikan yang terbaik kepada organisasi tempat mereka bekerja.



Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa terproduktif di dunia. Mereka terkenal dengan sikap rajin dan pekerja keras. Seorang pekerja Jepang rata-rata dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan lima sampai enam orang. Oleh karena itu, pekerja Jepang digaji tinggi karena mereka dapat menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan lebih dari satu orang. Mereka bukan hanya mampu bekerja dalam waktu lama, melainkan juga mampu mencurahkan perhatian, jiwa dan komitmen mereka pada pekerjaan.
Bangsa Jepang tidak menganggap tempat kerja hanya sebagai tempat mencari makan, tetapi juga menganggapnya sebagai bagian dari keluarga dan kehidupannya. Bahkan kesetiaannya pada tempat kerja melebihi kesetiaannya kepada keluarga. Karakter dan budaya kerja keras tersebut tidak lahir dan terwujud begitu saja melainkan warisan semangat kaum samurai yang dipupuk dan dilatih selama berabad-abad. yang pada akhirnya membawa Jepang kepada keberhasilan ekonomi, industri dan perdagangan.
Begitulah usaha Jepang dalam meraih kesuksesan, pekerja keras tanpa mengenal waktu, tidak mengenal lelah dan putus asa. Berbeda dengan Cina yang memegang teguh filosofi Yin Yang. Di mana menurut Yin Yang, hidup butuh keseimbangan. Hidup bukanlah semata-mata mengenal tujuan akhir, melainkan suatu perjalanan untuk mencapai tujuan itu (life is a journey). Artinya, saat mengejar impian, harapan, tujuan atau cita-cita tidak boleh mengabaikan bagian hidup yang lain.
Lambang Yin Yang berbentuk lingkaran dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu warna hitam (Yin) dan warna putih (Yang). Di dalam warna putih masih terdapat lingkaran kecil yang berwarna hitam, dan sebaliknya, di dalam warna hitam terdapat lingkaran kecil yang berwarna putih. Tentunya, bentuk lambang Yin Yang seperti itu memiliki makna yaitu melambangkan keseimbangan, menggambarkan realitas dualisme, menggambarkan roda yang terus-menerus berutar tanpa henti, dan tidak ada kesempurnaan di dunia ini.
Konsep Yin Yang mengatakan bahwa satu hal bergantung atau menciptakan hal lainnya. Sama dengan apa yang tertulis dalam buku Tao The Ching, yang telah berumur 2500 tahun, menjelaskan bahwa kesuksesan sempurna bisa diraih dalam hidup ini bila telah melakukan hal-hal terbaik dari lahir hingga meninggal.
Jadi menurut filosofi Yin Yang, dalam meraih kesuksesan bangsa Cina tidak terlalu “ngotot” dan memfokuskan diri pada kesuksesan semata karena masih ada kesempatan untuk menikmati kesenangan atau pengalaman hidup yang dapat memberi kebahagiaan. Namun tidak berarti, bangsa Cina bukanlah pekerja keras. Hanya saja menurutnya, kita dalam bekerja tidak boleh keluar dari siapa diri kita sebenarnya. Bagi bangsa Cina, kerja keras memang perlu, namun yang lebih penting adalah keseimbangan antara tujuan dengan pengorbanan.

0 komentar: